Rabu, 09 November 2011

penentuan arah kiblat


BAB I
PENDAHULUAN
Kiblat pertama kaum muslimin adalah masjid Al-Aqsha (Baitul Makdis) di Palestina. Menurut riwayat, walaupun Rasulullah selalu menghadap baitul makdis, jika Sedang berada di mekkah beliau juga pada saat bersamaan selalu menghadap Baitullah (Ka’bah). Saat Rasulullah hijrah ke Madinah kewajiban menghadap Baitul Makdis masih berlaku, hingga setelah 16 atau 17 bulan setelah hijrah, kerinduan beliau memuncak untuk menghadap Baitullah yang sepenuhnya telah dikuasai Kaffir Qurais. Maka turunlah firman Allah untuk menghadap Masjidil Haram yang telah dinanti-natikan oleh Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat 144. فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ . Surat ini sekaligus menjadi perintah untuk melaksanakan Shalat dengan menghadapkan wajah ke Kiblat (Baitullah Ka’bah).
oleh karena bumi kita berbentuk bola, maka timbulah beberapa permasalahan dalam menentukan arah Kiblat. Melihat beberapa literatur begitu beragam pemahaman orang dalam menentukan arah kiblat. Di Indonesia, secara umum orang berkata bahwa arah Kiblat bagi tempat-tempat di Indonesia adalah ke-arah barat serong sedikit ke utara.[1]
Pentingnya mengukur arah kiblat ini sangat berpengaruh terhadap kekhusuan kita dalam beribadah dan ketika menentukan lokasi pembangunan Masjid atau Mushala. Walaupun saat ini sudah ada kompas kiblat dan sudah beredarnya perhitungan yang di terbitkan oleh Departemen Agama untuk beberapa lokasi, alangkah baiknya kita mengetahui cara dan bagaimana menentukan arah kiblat yang sebenarnya.












BAB II
PEMBAHASAN
  1. Dasar Perhitungan Arah Kiblat
Mengingat bahwa setiap titik di permukaan bumi ini berada dipermukaan bola Bumi maka perhitungan arah kiblat dilakukan dengan Ilmu Ukur Segitiga Bola. Demj ketelitian hasil perhitungan yang dilakukan, maka sebaliknya perhitungan dilakukan dengan alat bantu mesin hitung atau kalkulator.
Untuk perhitungan arah kiblat, ada 3 buah titik yang dipergunakan, yaitu:
1.      Titik A, terletak di Ka’bah (  Ф = 12◦25’25” (LU) dan λ= 39◦49’39”(BT)
2.      Titik B, terletak di lokasi yang akan dihitung arah kiblatnya.
3.      Titik C, terletak di titik kutub utara.
Titik A dan titik C adalah dua titik yang tidak berubah, karena titik A tepat di Ka’bah dan titik C tepat di kutub utara. Sedangkan titik B senantiasa berubah tergantung pada tempat yang akan dihitung arah kiblatnya, misalnya kota Yogyakarta (Ф = -7◦48” λ = 110◦21’)
Ketiga sisi segitiga ABC di samping ini diberi nama dengan huruf kecil dari nama sudut didepannya, sehingga:
Sisi BC disebut sisi a, karena di depan sudut A.
Sisi AC disebut sisi b, karena di depan sudut B.
Sisi AB disebut sisi c, karena di depan sudut C.
            Dengan gambar di disampimg, dapatlah dikrtahui bahwa yang dimaksud dengan perhitungan arah kiblat adalah sutu perhitungan untuk mengetahui berapa besar nilai sudut yang dipit oleh sisi a dan sisi b.
            Untuk menghitung arah kiblat, hanya diperlukan dua data tempat, yaitu data lintang dan bujur Ka’bah serta data lintang dan bujur tempat lokasi atau kota yang akan diitung arah kiblatnya.
            Adapun lintang tempat Ka’bah (Ф) = 21◦25’25” (LU) dan lintang tempat dan bujr tmpat untuk lokasi atau kota yang akan dihitung arah kiblatnya, dapat di ambil dari daftar yang telah ada, atau dicari dengan GPS atau dihitung tersendiri.[2]
  1. Perhitungan Arah Kiblat
Perhitungan arah kiblat dapat menggunakan rumus Cosinus sebagai berikut:[3]
           
            Dengan rumus ini diperlukan 3 unsur, yaitu:[4]
  1. Jarak antara titik kutub utara smpai garis lintang yang melewati tempat atau kota yang dihitung arah kiblatnya, sehinnga dapat dirumuskan:
a = 90° - φB ( kota ysb)
  1. Jarak antara titik kutub utara smpai garis lintang yang melewati Ka’bah (Ф = 21° 25’ 25”), sehingga dapat dirumuskan:
b = 90° – 21° 25’25” = 68° 34’35”
  1. Jarak bujur atau Fadhlut Thulain, yaitu jarak antara bujur tempat yang dihitung arah kiblatnya dengan bujur Ka’bah (39° 49’39” BT), sehingga:
Ø  Jika λ = 0°00’00” s/d 39° 49’39” BT maka C = 39° 49’39”- λ
Ø  Jika λ = 39° 49’39”s/d 180°00’00” BT maka C = λ -39° 49’39”
Ø  Jika λ = 0°00’00”s/d 140°10’21”BB maka C = (λ) + 39° 49’39”
Ø  Jika λ = 140°10’21”s/d 180°00’00” BB maka C = 320°10’21” – (λ)

  1. Pengukuran Arah Kiblat dengan Kompas
Setelah perhitungan aah kiblat didapatkan maka pengukuran arah kiblat di lapangan adalah:[5]
1.      Pilih tempat yang datar.
2.      Buatlah garis arah utara selatan pada pelataran yang betul-betul datar, sepanjang 100 Cm (garis AB).
3.      Dari titik B, dibuat garis persis tegak lurus kea rah barat.
4.      Dengan menggunakan pehitungan goniomtris.
Contoh arah kiblat kota Yogyakarta = 65°17’13”,66 dari titik barat, maka tangent = 65°17’13”,66 ×100 Cm. maka dapat diketahui panjang garis yang mengarah ke barat, yaitu 217 Cm (garis BC) berikut uraiannya:
            Tangent 65°17’13”,66 = BC / AB
            BC = tangent 65°17’13”,66 × AB
            BC = 2,172869928 × 100Cm
            BC = 217,2869928 = 217Cm
5.      AC =Garis arah kiblat yang dicari
Visualisasi dari garis tersebut sebagai berikut:
AB = 100Cm
BC = 217Cm                                C                                                        
AC = Arah kiblat
                             Shaf
                       
                        Shaf
                                                              217Cm
            shaf

                                65°17’13”,66
SELATAN    A       100Cm               B                    UTARA

  1. Pengukuran Arah Kiblat dengan Sinar Matahari
Menentukan titik Barat dan Timur dengan sinar matahari dapat dilakukan sebagai berikut:[6]
1.      Pilih tempat yang rata, datar, dan terbuka.
2.      Buatlah sebuah lingkaran di tempat itu dengan jari-jari sekitar 0,5 meter.
3.      Tancapkan sebuah tongkat lurus setinggi sekitar 1,5 meter tegak lurus tepat di tengah lingkaran.
4.      Berilah tanda titik B pada titik perpotongan antara bayangan tongkat itu dengan garis lingkaran sebelah barat yang terjadi sebelum waktu duhur.
5.      Berilah tanda titik T pada titik terpotong antara bayangan tongkat itu dengan garis lingkaran sebelah timur yang terjadi sesudah duhur.
6.      Hubungkan titik B dengan titik T dengan garis lurus.
7.      Titik B merupakan titik Barat dan titik T merupakan titik Timur, sehingga didapatkan garis lurus yang menunjukan arah Barat dan Timur.
8.      Buatlah garis kea rah tegak lurus pada garis barat-timur maka menunjukan titik Utara.

M¹ = posisi Matahari sebelum duhur.
M² = posisi Matahari sesudah duhur.
B = titik potong bayangan ujung tongkat (barat)
T = titik potong bayangan ujung tongkat (timur)

















BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dasar penghitungan arah kiblat bahwa setiap titik di permukaan bumi ini berada dipermukaan bola Bumi maka perhitungan arah kiblat dilakukan dengan Ilmu Ukur Segitiga Bola. Demj ketelitian hasil perhitungan yang dilakukan, maka sebaliknya perhitungan dilakukan dengan alat bantu mesin hitung atau kalkulator.
Untuk perhitungan arah kiblat, ada 3 buah titik yang dipergunakan, yaitu:
1.      Titik A, terletak di Ka’bah (  Ф = 12◦25’25” (LU) dan λ= 39◦49’39”(BT)
2.      Titik B, terletak di lokasi yang akan dihitung arah kiblatnya.
3.      Titik C, terletak di titik kutub utara.
Penghitungan arah kiblat menggunakan segitiga bola karena bentuk bumi yang bulat. Rumus yang digunakan adalah rumus Cosinus. Sebelum melakukan penghitungan terlebih dahulu melakukan pengukuran arah kiblat yang bisa menggunakan kompas dan sinar Matahari.
















DAFTAR PUSTAKA
Susikna Azhari. 2007. Ilmu Falak Perjuangan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta: Suara Muhammaiyah.
Muhyiddin Khazin. 2004. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka.
………………....... 2004.  Cara Mudah Mengukur Arah Kiblat. Yogyakarta: Buana Pustaka.










[1]..Muhyidin Khazin .Cara Mudah Mengukur Arah Kiblat. Buana Pustaka. Jogjakarta. 2004
[2] . Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik ( Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004),hal 53.
[3].Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjuangan Khazanah Islam dan Sains Modern (Yogyakarta: Suara      Muammadiyah, cat II 2007), hal 57
[4]. Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, hal 55
[5]. Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjuangan Khazanah Islam dan Sains Modern, hal 60.
[6].  Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, hal 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar