PENDAHULUAN
Al-quran
sebagai kitab suci Allah SAW. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW..
sebagai petunjuk dalam kehidupan untuk semua umat Islam bahkan non Islam. Di
dalam al-quran terdapat beberapa kisah-kisah Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad
seperti kisah Nabi Hud, Nabi Nuh, Syu’aib dan Nabi-nabi yang lain.
Makalah
ini akan sedikit mengkupas kisah Nabi Syu’aib as di Negeri Madyan. Dalam kisah
yang diambil dari surat Al-‘Araf ayat 85 dan surat Hud ayat 85-86 akan
memberikan gambaran tetang sistem ekonomi yang tidak didasari kejujuran dalam
takaran dan timbangan. Sistem ekonomi dengan sistem kecurangan atau kebatilan
yang berakibata minimnya kepercayaan terhadap mereka karena dengan sistem
tersebut menyebabkan kerusakan di muka bumi ini baik ekonomi atau social.
Sebenarnya sudah ada Bayyinah yaitu kisah Nabi-nabi
sebelumnya.
Tafsir surat
al-‘Araf ayat 85 dan surat Hud ayat 85-86
Tetang
pengurangan takaran dan timbangan
- Surat
al-‘araf ayat 85
4n<Î)ur
útïôtB
öNèd%s{r&
$Y7øyèä©
3 tA$s%
ÉQöqs)»t
(#rßç7ôã$#
©!$#
$tB
Nà6s9
ô`ÏiB
>m»s9Î)
¼çnçöxî
( ôs%
Nà6ø?uä!$y_
×poYÉit/
`ÏiB
öNà6În/§
( (#qèù÷rr'sù
@øx6ø9$#
c#uÏJø9$#ur
wur
(#qÝ¡yö7s?
}¨$¨Y9$#
öNèduä!$uô©r&
wur
(#rßÅ¡øÿè?
Îû
ÇÚöF{$#
y֏t/
$ygÅs»n=ô¹Î)
4 öNà6Ï9ºs
×öyz
öNä3©9
bÎ)
OçFZà2
úüÏZÏB÷sB
ÇÑÎÈ
- Gambaran
Umum Surat al-‘araf ayat 85
Ayat
ini berisi cerita tentang nabi Syu’aib. Nabi Syu’aib diutus kepada suku atau
kota Madyan. Madyan pada mulanya adalah nama putra nabi Ibrahim as, dari istri
yang ketiga yang bernama qathhura. Kemudian Madyan nikah dengan putrid nabi
Luth as. Selanjutnya Madyan dikenal dengan arti suku keturunan Madyan putra
nabi Ibrahim as, tepatnya di pantai laut Merah sebelah selatan gurun Sunai
diantara Hijaz dan Teluk ‘Aqabah.[1]
Nabi
Syu’aib as (seterusnya disebut Nabi) diutus kepada penduduk Madyan tersebut.
Pertama Nabi berseru pada kaumnya yaitu penduduk Madyan tentang tauhid yaitu
menyembah Allah SAW. yang satu, tidak tuhan selain Allah SAW.. Kedua Nabi
berseru pada kaumnya untuk menyempurnakan takaran dan timbangan serta tidak
merugikan atas hak orang lain. selanjutnya tidak membuat kerusakan di muka
bumi.
- Tafsir
kosa kata.
Bayyinah
(×poYÉit/)
artinya mu’jizat,[2]
tetapi belum ditemukan penjelasa dalam surat ini atau surat yang lain tentang
mukjizat nabi Syu’aib. Akan tetapi sebagian ahli tafsir menyebutkan perkataan
Nabi Syu’aib kepad kaumnya bahwa mereka akan binasa adalah mukjizat itu
sendiri.[3]
Kata
#qèù÷rr's
ditafsiri dengan kata أتموا sempurnakanlah. Maksudnya takaran atau timbangan tersebut harus
sepuna tidak ada unsur kecurangan. Akan tetapi didasari dengan unsur kejujuran.
La
tabkhasu ( (#qÝ¡yö7s? w)
artinya la tangqusu (#qÝÁà)Zs?wu)
jangan mengurangi[4]
yang diambil dari kata (بخس) bahks artiya
kekurangan yang dianbil dari kecurangan. Ibnu ‘Arabi seperti yang dikutib oleh
Ibnu ‘Asyur, mendefinisikan kata ini dengan arti pengurangan dalam bentuk mencela
atau memperburuk sehingga tidak disenangi, atau penipuan dalam nilai atau kecurangan
dalam timbangan dan takaran dengan melebihi atau mengurangi.[5]Kecurangan
atau ketidak jujuran dalam ekonomi menjadi cara dan sistem untuk mendapatkan
kekayaan, hal ini adalah merugikan dan merampas hak-hak orang lain. Dizaman
sekarang ini hal seperti ini biasa disebut korupsi atau manipulasi. Sebab
negeri Madyan pada saat itu penduduknya tidak dapat dipercaya.[6]
Nabi
Syu’aib menjelaskan terlebih dahulu tentang suatu bahaya yang menimpa akan kuam
Madyan akan tetapi bencana tersebut tidak akan datang jika mereka kembali
kepada jalan yang benar, pertama ingat kepa Allah yang Esa dan menyembahNya.
Kedua merubah perbuatan curang yaitu menambah atau mengurangi takaran atau
timbnagan tanpa ada kejujuran asal mendapatkan keuntungan. Ketika membeli
mereka kurangi takaran atau timbangan yang dipakainya dan menanbah berat
takaran dan timbangan ketika menjual. Dengan demikian mereka mengabil hak-hak
orang lain.
- Surat hud ayat 84 – 85
* 4n<Î)ur
tûtïôtB
óOèd%s{r&
$Y6øyèä©
4 tA$s%
ÉQöqs)»t
(#rßç7ôã$#
©!$#
$tB
Nà6s9
ô`ÏiB
>m»s9Î)
¼çnçöxî
( wur
(#qÝÁà)Zs?
tA$uò6ÏJø9$#
tb#uÏJø9$#ur
4 þÎoTÎ)
Nà61ur&
9ös¿2
þÎoTÎ)ur
ß$%s{r&
öNà6øn=tæ
z>#xtã
5Qöqt
7ÝÏtC
ÇÑÍÈ ÏQöqs)»tur
(#qèù÷rr&
tA$uò6ÏJø9$#
c#uÏJø9$#ur
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
( wur
(#qÝ¡yö7s?
}¨$¨Z9$#
öNèduä!$uô©r&
wur
(#öqsW÷ès?
Îû
ÇÚöF{$#
tûïÏÅ¡øÿãB
ÇÑÎÈ
- Gambaran
Umum
Ayat
ini tidak jauh berbeda dengan ayat 85 surat al-‘araf di atas. Ayat ini sebagai
penguat dan penjelas dari ayat sebelunya. Setidaknya ada dua hal yang
disampaikan Nabi Syu’aib kepada kaum Madyan, pertama Allah yang Esa, tidak ada
tuhan selain Dia dan menyembah kepadaNya. Kedua kejujuran dalam sistem ekonomi
yaitu tidak mengurangi atau menambah takaran dan timbangan akan tetapi
menyempurnakan takaran dan timbangan tersebut. Selanjutnya dengan prilaku
tersebut mengambil hak-hak orang lain sehingga mengurangnya kepercayaan dan
kejujuran sehingga berakibat terhadap kehancuran segala sistem kehidupan dimuka
bumi baik dalam lingkungan dalam negeri atau dalam lingkungan luar negeri.
- Tafsir
kosa kata
Kata
khair (ös ) artinya baik, namun makna jika
makna dari kata tersebut diperluas sehinga tidak terbatas pada rizeki yang bersifat material
tetapi juga rohani. Dalam arti sahat pikiran dan luas pengetahuannya. Sehingga
makna dari kalimat 9ös¿2 Nà61ur&ÎoTÎ) adalah pandangan nabi Syu’aib dengan pandangan
positif. dalam tafsir jalalain disebutkan maksud dari kalimat diatas adalah
kondisi kejujuran social atau ekonomi, tidak menganiaya hak orang lain.[7]
Dalam
tafsir al-maragi, keadaan baik yang dimaksud dalam ayat diatas adalah keadaan
cukup kaya dan luas rezeki sehingga tidak perlu mengambil hak-hak orang lain
dan memakan harta orang alin dengan cara batil yaitu dengan mengurangi barang
yang dijual ketika menakar atau menimbang.[8]
Kepercayaan
(tauhid ) kepada Allah SAW. dengan kejujuran kepada sesama manusia bisa terasa
dengan memperhatikan surat ar-Rahman, pada ayat 7 diterangkan bahwasanya langit
diangkatkan oleh Allah lalu Allah meletakkan Mizaan, yaitu timbangan yang sama berat pada ala mini, pada langit
dan segala cakrawala, agar supaya kamu manusia jangan berlaku curang pada
timbangan (ayat 8) dan hendaklah mendirikan pertimbangan itu dengan adil dan
jangan merugikan orang lain (ayat 9), karena bumi ini dihamparkan oleh Allah
ialah tempat berdiamnya manusia (ayat 10).[9]
Larangan
mengurangi takaran dan timbangan yang merupakan perbuatan curang atau penipuan
telah tercantum dalam firman surat al-mutaffifin ayat 1-3:
×@÷ur
tûüÏÿÏeÿsÜßJù=Ïj9
ÇÊÈ tûïÏ%©!$#
#sÎ)
(#qä9$tGø.$#
n?tã
Ĩ$¨Z9$#
tbqèùöqtGó¡o
ÇËÈ #sÎ)ur
öNèdqä9$x.
rr&
öNèdqçRy¨r
tbrçÅ£øä
ÇÌÈ
kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang,(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi.
Jadi
jelaslah dari ayat ini bahwa ciri orang yang curang, pertama timbangan atau
takarang dipenuhi ketika menerima barang. Kedua, takaran dan timbangan
dikurangi ketika mengeluarkan barang. Perbuatan ini juga merupakan kekufuran
terhadap nikamt yang telah Allah SAW. berikan, karena semestinya kalian wajib
mensyukurinya dengan cara member tambahan sebagai sedekah dan keabjikan.[10]
Sebagaiman janji Allah barang siapa yang mensyukuri atas nikmat yang telah
Allah berikan kepada kita, maka Allah akan menambah nikmat tersebut. Tetapi
ketika nikmat tersebut kita kufuri maka Allah SAW. sangat mudah mengazabnya
dengan azab yang sangat pedih.
Sejalan dengan janji Allah diatas dan apa yang
seharusnya dilakukan sebagai bentuk syukur, maka Nabi Syu’aib as
menghawatirkannya yakni dalam ungkapannya:
Azab
Allah akan benar-benar datang kemusyrikan terus dilakukan dengan menyembah
selain Allah SAW. dan mengkufuri nikmat yang Allah SAW. berikan dengan
mengurangi takaran dan timbangan.
Kata
muhith() terambil dari kata ahatha yang berarti meliputi. Dan
sesuatu yang diliputi pasti diuasai. Sehhingga segala sesuatu yang ada dan
terjadi pada hari yang meliputi pasti dikuasai oleh yang menguasai yaitu Allah SAW..
Sikas
atau azab yang dimaksud diatas akan terjadi antara lain berupa kecemasan dan
kejengkelan yang menimbulkan perselisihan dan permusuhan yang meliputi semua
manusia, yaitu ketika kecuarangan merajalela baik dalm sistem ekonomi maupun
dalam butuk yang lain.
Dalam
tafsir Al-Qurthubi disebutkan maksud dari azab tersebut adalah naiknya harga
barang dan kekeringan yang melanda daerah tersebut. Pendapat ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
ما
أظهرَ قومٌ البَحْسَ في المِكْيَلِ والمِيْزَانِ إِلاَّإِبْتَلاَهُمُ اللهُ
بالقَحْطِ والغَلاَءِ
“Tidaklah sebuah kaum itu menampakkan
kecurangan dalam timbangan dan takaran kecuali Allah swt akan menimpakan kepada
mereka (azab) kekeringan dan naiknya harga.”[11]
Setelah
Nabi Syu’aib menyeruhkan kaum Madayan dengan larangan mengurangi takaran dan
timbangan. Sebagai penguat maka Nabi Syu’aib menyeruhkan kembali dengan
menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil.[12]
Kata
al-qisth (الْقِسْطِ)
diartikan adil, sinonim dari kata al-‘adlu.
Namun ada yang membedakan kedua kata tersebut, bahwa kata al-qisth berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang
menjadikan masing-masing senang. Sedangkan al-‘adlu
adalah berlaku adil terhadap oang lain maupun pada diri sendiri, tetapi
keadilan itu bias saja tidak menyenagkan salah satu pihak. Jadi timbangan dan
takaran harus menyenangkan kedua belah pihak.
Kata
ta’tsaw.(تعثوا). diambil dari kata ‘atsa’(عثاء) dan
‘atsa,(عاث) artinya perusakan
atau bersegera melakukan perusakan. Maksud dari kata tersebut dalam ayat ini
bukan larangan bersegera malakukan perusakan jadi bersegera dapat ditoleransi
tetapi maksudya adalah jangan melakukan perusakan dengan sengaja. Sehingga
penggunaan kata ini mengisyaratkan bahwa kesegeraan akibat mengikuti hawa nafsu
tidak akan berhasil kecuali kerusakan.[13]
Kandungan hukum surat Al-‘Araf ayat 85 dan surat Hud ayat
85-86
Nabi
Syu’aib as diutus oleh Allah kepada kaum Madyan yang pada dasarnya memiliki
kehidupan yang berkecukupan dan kaya raya. Seharusnya mereka tidak perlu
melakukan kecurangan dengan mengurangi takaran dan timbangan. Perbuatan tersebut merupakan pengambilan hak
orang lain serta membuat kerusakan di muka bumi.
Dari
kisah kaum Madyan ini bisa diambil beberapa hukum yang tetap berlaku sampai
sekarang. Diantara hukum-hukum tersebut adalah[14]:
1. Wajib
menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya.
2. Haram
mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa saja. Baik hak tersebut
milik perseorangan atau milik orang banyak seperti harta pemerintah dan
perusahaan.
3. Haram
berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman
di muka bumi, seperti mencopetan, mencuri, merampok, korupsi, menteror dan
lain-lain.
KESIMPULAN
Madyan
adalah suatu daerah yang di pantai laut Merah sebelah selatan gurun Sunai
diantara Hijaz dan Teluk ‘Aqabah, Madyan itu sendiri pada awalnya adalah nama
putra Nabi Ibrahim as yang kemudian
difahmi bahwa kata Madyan suku keturunan Madyan putra Nabi Ibrahim as. Daerah
Madyan ini Nabi Syu’aib diutus oleh Allah SWT untuk meluruskan dan kembali
kepada jalan Allah swt. yaitu menyembah
pada Allah tiada tuhan selain Dia. Selanjutnya Nabi Syu’aib melarang melakukan
kecurangan dalam takaran dan timbangan serta membuat kerusakan di muka bumi.
Serta perintah menyempurnakan takaran dan timabangan dan larangan mengambil hak
milik orang lain. Dari ini ditarik beberapa hokum yang akan berlaku sampai sekarang,
antara lain:
1. Wajib
menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya.
2. Haram
mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa saja. Baik hak tersebut
milik perseorangan atau milik orang banyak seperti harta pemerintah dan
perusahaan.
3. Haram
berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman
di muka bumi, seperti mencopetan, mencuri, merampok, korupsi, menteror dan
lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Mushthafa Al-Maraghi, 1993, Terjemah
Tafsir Al-Maraghi, terj. Anshori Umar,Semarang: Toha Putra
Dr.
Hamka, 1984, Tafsir Al Azhar, juz
VIII, Jakarta: PT Pustaka Panjimas
M.
Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Misbah,
vol 6, Jakarta: Lentera hati
Kementrian
Agama, 2010, Al-Qur’an & Tafsirnya,
jilid IV, Juz 12, Jakarta: Lentera Abadi
Muhammad
Ibrahim al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi,
juz 9(Jakarta, Pustaka Azzam: )
Jalaludin
Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir jalalain juz 1. Surabaya:
t.np.,
Tafsir Surat
Al-‘Araf ayat 85 dan Surat Hud ayat 85-86
Tetang Pengurangan
Takaran dan Timbangan
Makalah ini di buat guna memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir
al-ahkam II
Dosen pengampu :
Disusun oleh
Abdul
Aziz
26.09.2.1.007
PROGRAM MUAMALAH
JURUSAN SYARI’AH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011
[1]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6 (Jakarta,
Lentera hati: 2002 ) hlm. 313
[2]. Jalaludin Al-Mahalli dan
Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir jalalain juz 1. (Surabaya: t.np.,t.t.,),
hlm. 137
[3]. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz VIII ( Jakarta, PT
Pustaka Panjimas : 1984), hlm 423
[4] . Jalaludin Al-Mahalli dan
Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir …, hlm. 137
[5]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6…, hlm. 312-313
[6]. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz VIII…, hlm 424
[7]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6…, hlm. 313
[8]. Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,
terj. Anshori Umar ( Semarang. Toha Putra: 1993) hlm 133
[9]. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz XII…, hlm 105
[10]. Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir…, hlm 132
[11]. Muhammad Ibrahim
al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi, juz
9(Jakarta, Pustaka Azzam: ), hlm 192
[12]. Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi…, hlm 133
[13]. M. Quraish Shihab, Tafsir….. vol 6.., hlm.313
[14]. Kementrian Agama, Al-Qur’an & Tafsirnya, jilid IV, Juz 12,( Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), hlm 457
Tidak ada komentar:
Posting Komentar