Selasa, 08 November 2011

tafsir tentang timabagang dan takaran


PENDAHULUAN
Al-quran sebagai kitab suci Allah SAW. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.. sebagai petunjuk dalam kehidupan untuk semua umat Islam bahkan non Islam. Di dalam al-quran terdapat beberapa kisah-kisah Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad seperti kisah Nabi Hud, Nabi Nuh, Syu’aib dan Nabi-nabi yang lain.
Makalah ini akan sedikit mengkupas kisah Nabi Syu’aib as di Negeri Madyan. Dalam kisah yang diambil dari surat Al-‘Araf ayat 85 dan surat Hud ayat 85-86 akan memberikan gambaran tetang sistem ekonomi yang tidak didasari kejujuran dalam takaran dan timbangan. Sistem ekonomi dengan sistem kecurangan atau kebatilan yang berakibata minimnya kepercayaan terhadap mereka karena dengan sistem tersebut menyebabkan kerusakan di muka bumi ini baik ekonomi atau social. Sebenarnya sudah ada  Bayyinah yaitu kisah Nabi-nabi sebelumnya.   










Tafsir surat al-‘Araf ayat 85 dan surat Hud ayat 85-86
Tetang pengurangan takaran dan timbangan
  1. Surat al-‘araf ayat 85
4n<Î)ur šútïôtB öNèd%s{r& $Y7øŠyèä© 3 tA$s% ÉQöqs)»tƒ (#rßç7ôã$# ©!$# $tB Nà6s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçŽöxî ( ôs% Nà6ø?uä!$y_ ×poYÉit/ `ÏiB öNà6În/§ ( (#qèù÷rr'sù Ÿ@øx6ø9$# šc#uÏJø9$#ur Ÿwur (#qÝ¡yö7s? }¨$¨Y9$# öNèduä!$uô©r& Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) 4 öNà6Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) OçFZà2 šúüÏZÏB÷sB ÇÑÎÈ  
  1. Gambaran Umum Surat al-‘araf ayat 85
Ayat ini berisi cerita tentang nabi Syu’aib. Nabi Syu’aib diutus kepada suku atau kota Madyan. Madyan pada mulanya adalah nama putra nabi Ibrahim as, dari istri yang ketiga yang bernama qathhura. Kemudian Madyan nikah dengan putrid nabi Luth as. Selanjutnya Madyan dikenal dengan arti suku keturunan Madyan putra nabi Ibrahim as, tepatnya di pantai laut Merah sebelah selatan gurun Sunai diantara Hijaz dan Teluk ‘Aqabah.[1]
Nabi Syu’aib as (seterusnya disebut Nabi) diutus kepada penduduk Madyan tersebut. Pertama Nabi berseru pada kaumnya yaitu penduduk Madyan tentang tauhid yaitu menyembah Allah SAW. yang satu, tidak tuhan selain Allah SAW.. Kedua Nabi berseru pada kaumnya untuk menyempurnakan takaran dan timbangan serta tidak merugikan atas hak orang lain. selanjutnya tidak membuat kerusakan di muka bumi.
  1. Tafsir kosa kata.
Bayyinah (×poYÉit/) artinya mu’jizat,[2] tetapi belum ditemukan penjelasa dalam surat ini atau surat yang lain tentang mukjizat nabi Syu’aib. Akan tetapi sebagian ahli tafsir menyebutkan perkataan Nabi Syu’aib kepad kaumnya bahwa mereka akan binasa adalah mukjizat itu sendiri.[3]
Kata #qèù÷rr's ditafsiri dengan kata أتموا sempurnakanlah. Maksudnya takaran atau timbangan tersebut harus sepuna tidak ada unsur kecurangan. Akan tetapi didasari dengan unsur kejujuran.
La tabkhasu ( (#qÝ¡yö7s? w) artinya la tangqusu (#qÝÁà)Zs?wu) jangan mengurangi[4] yang diambil dari kata (بخس) bahks artiya kekurangan yang dianbil dari kecurangan. Ibnu ‘Arabi seperti yang dikutib oleh Ibnu ‘Asyur, mendefinisikan kata ini dengan arti pengurangan dalam bentuk mencela atau memperburuk sehingga tidak disenangi, atau penipuan dalam nilai atau kecurangan dalam timbangan dan takaran dengan melebihi atau mengurangi.[5]Kecurangan atau ketidak jujuran dalam ekonomi menjadi cara dan sistem untuk mendapatkan kekayaan, hal ini adalah merugikan dan merampas hak-hak orang lain. Dizaman sekarang ini hal seperti ini biasa disebut korupsi atau manipulasi. Sebab negeri Madyan pada saat itu penduduknya tidak dapat dipercaya.[6]
Nabi Syu’aib menjelaskan terlebih dahulu tentang suatu bahaya yang menimpa akan kuam Madyan akan tetapi bencana tersebut tidak akan datang jika mereka kembali kepada jalan yang benar, pertama ingat kepa Allah yang Esa dan menyembahNya. Kedua merubah perbuatan curang yaitu menambah atau mengurangi takaran atau timbnagan tanpa ada kejujuran asal mendapatkan keuntungan. Ketika membeli mereka kurangi takaran atau timbangan yang dipakainya dan menanbah berat takaran dan timbangan ketika menjual. Dengan demikian mereka mengabil hak-hak orang lain.
  1. Surat hud ayat 84 – 85
* 4n<Î)ur tûtïôtB óOèd%s{r& $Y6øyèä© 4 tA$s% ÉQöqs)»tƒ (#rßç7ôã$# ©!$# $tB Nà6s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçŽöxî ( Ÿwur (#qÝÁà)Zs? tA$uò6ÏJø9$# tb#uÏJø9$#ur 4 þÎoTÎ) Nà61ur& 9Žösƒ¿2 þÎoTÎ)ur ß$%s{r& öNà6øn=tæ z>#xtã 5Qöqtƒ 7ÝÏtC ÇÑÍÈ   ÏQöqs)»tƒur (#qèù÷rr& tA$uò6ÏJø9$# šc#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur (#qÝ¡yö7s? }¨$¨Z9$# öNèduä!$uô©r& Ÿwur (#öqsW÷ès? Îû ÇÚöF{$# tûïÏÅ¡øÿãB ÇÑÎÈ  
  1. Gambaran Umum
Ayat ini tidak jauh berbeda dengan ayat 85 surat al-‘araf di atas. Ayat ini sebagai penguat dan penjelas dari ayat sebelunya. Setidaknya ada dua hal yang disampaikan Nabi Syu’aib kepada kaum Madyan, pertama Allah yang Esa, tidak ada tuhan selain Dia dan menyembah kepadaNya. Kedua kejujuran dalam sistem ekonomi yaitu tidak mengurangi atau menambah takaran dan timbangan akan tetapi menyempurnakan takaran dan timbangan tersebut. Selanjutnya dengan prilaku tersebut mengambil hak-hak orang lain sehingga mengurangnya kepercayaan dan kejujuran sehingga berakibat terhadap kehancuran segala sistem kehidupan dimuka bumi baik dalam lingkungan dalam negeri atau dalam lingkungan luar negeri.
  1. Tafsir kosa kata
Kata khair (Žösƒ  ) artinya baik, namun makna jika makna dari kata tersebut diperluas sehinga tidak  terbatas pada rizeki yang bersifat material tetapi juga rohani. Dalam arti sahat pikiran dan luas pengetahuannya. Sehingga makna dari kalimat   9Žösƒ¿2 Nà61ur&ÎoTÎ)  adalah pandangan nabi Syu’aib dengan pandangan positif. dalam tafsir jalalain disebutkan maksud dari kalimat diatas adalah kondisi kejujuran social atau ekonomi, tidak menganiaya hak orang lain.[7]
Dalam tafsir al-maragi, keadaan baik yang dimaksud dalam ayat diatas adalah keadaan cukup kaya dan luas rezeki sehingga tidak perlu mengambil hak-hak orang lain dan memakan harta orang alin dengan cara batil yaitu dengan mengurangi barang yang dijual ketika menakar atau menimbang.[8]
Kepercayaan (tauhid ) kepada Allah SAW. dengan kejujuran kepada sesama manusia bisa terasa dengan memperhatikan surat ar-Rahman, pada ayat 7 diterangkan bahwasanya langit diangkatkan oleh Allah lalu Allah meletakkan Mizaan, yaitu timbangan yang sama berat pada ala mini, pada langit dan segala cakrawala, agar supaya kamu manusia jangan berlaku curang pada timbangan (ayat 8) dan hendaklah mendirikan pertimbangan itu dengan adil dan jangan merugikan orang lain (ayat 9), karena bumi ini dihamparkan oleh Allah ialah tempat berdiamnya manusia (ayat 10).[9]
Larangan mengurangi takaran dan timbangan yang merupakan perbuatan curang atau penipuan telah tercantum dalam firman surat al-mutaffifin ayat 1-3: 
×@÷ƒur tûüÏÿÏeÿsÜßJù=Ïj9 ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# #sŒÎ) (#qä9$tGø.$# n?tã Ĩ$¨Z9$# tbqèùöqtGó¡o ÇËÈ   #sŒÎ)ur öNèdqä9$x. rr& öNèdqçRy¨r tbrçŽÅ£øƒä ÇÌÈ  
kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Jadi jelaslah dari ayat ini bahwa ciri orang yang curang, pertama timbangan atau takarang dipenuhi ketika menerima barang. Kedua, takaran dan timbangan dikurangi ketika mengeluarkan barang. Perbuatan ini juga merupakan kekufuran terhadap nikamt yang telah Allah SAW. berikan, karena semestinya kalian wajib mensyukurinya dengan cara member tambahan sebagai sedekah dan keabjikan.[10] Sebagaiman janji Allah barang siapa yang mensyukuri atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, maka Allah akan menambah nikmat tersebut. Tetapi ketika nikmat tersebut kita kufuri maka Allah SAW. sangat mudah mengazabnya dengan azab yang sangat pedih.
Sejalan  dengan janji Allah diatas dan apa yang seharusnya dilakukan sebagai bentuk syukur, maka Nabi Syu’aib as menghawatirkannya yakni dalam ungkapannya:
Azab Allah akan benar-benar datang kemusyrikan terus dilakukan dengan menyembah selain Allah SAW. dan mengkufuri nikmat yang Allah SAW. berikan dengan mengurangi takaran dan timbangan.
Kata muhith() terambil dari kata ahatha yang berarti meliputi. Dan sesuatu yang diliputi pasti diuasai. Sehhingga segala sesuatu yang ada dan terjadi pada hari yang meliputi pasti dikuasai oleh yang menguasai yaitu Allah SAW..
Sikas atau azab yang dimaksud diatas akan terjadi antara lain berupa kecemasan dan kejengkelan yang menimbulkan perselisihan dan permusuhan yang meliputi semua manusia, yaitu ketika kecuarangan merajalela baik dalm sistem ekonomi maupun dalam butuk yang lain.
Dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan maksud dari azab tersebut adalah naiknya harga barang dan kekeringan yang melanda daerah tersebut. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
ما أظهرَ قومٌ البَحْسَ في المِكْيَلِ والمِيْزَانِ إِلاَّإِبْتَلاَهُمُ اللهُ بالقَحْطِ والغَلاَءِ
Tidaklah sebuah kaum itu menampakkan kecurangan dalam timbangan dan takaran kecuali Allah swt akan menimpakan kepada mereka (azab) kekeringan dan naiknya harga.”[11]
Setelah Nabi Syu’aib menyeruhkan kaum Madayan dengan larangan mengurangi takaran dan timbangan. Sebagai penguat maka Nabi Syu’aib menyeruhkan kembali dengan menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil.[12]
Kata al-qisth (الْقِسْطِ) diartikan adil, sinonim dari kata al-‘adlu. Namun ada yang membedakan kedua kata tersebut, bahwa kata al-qisth berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan masing-masing senang. Sedangkan al-‘adlu adalah berlaku adil terhadap oang lain maupun pada diri sendiri, tetapi keadilan itu bias saja tidak menyenagkan salah satu pihak. Jadi timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua belah pihak.
Kata ta’tsaw.(تعثوا). diambil dari kata ‘atsa’(عثاء) dan ‘atsa,(عاث) artinya perusakan atau bersegera melakukan perusakan. Maksud dari kata tersebut dalam ayat ini bukan larangan bersegera malakukan perusakan jadi bersegera dapat ditoleransi tetapi maksudya adalah jangan melakukan perusakan dengan sengaja. Sehingga penggunaan kata ini mengisyaratkan bahwa kesegeraan akibat mengikuti hawa nafsu tidak akan berhasil kecuali kerusakan.[13]
Kandungan hukum  surat Al-‘Araf ayat 85 dan surat Hud ayat 85-86
Nabi Syu’aib as diutus oleh Allah kepada kaum Madyan yang pada dasarnya memiliki kehidupan yang berkecukupan dan kaya raya. Seharusnya mereka tidak perlu melakukan kecurangan dengan mengurangi takaran dan timbangan.  Perbuatan tersebut merupakan pengambilan hak orang lain serta membuat kerusakan di muka bumi.
Dari kisah kaum Madyan ini bisa diambil beberapa hukum yang tetap berlaku sampai sekarang. Diantara hukum-hukum tersebut adalah[14]:
1.      Wajib menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya.
2.      Haram mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa saja. Baik hak tersebut milik perseorangan atau milik orang banyak seperti harta pemerintah dan perusahaan.
3.      Haram berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, seperti mencopetan, mencuri, merampok, korupsi, menteror dan lain-lain.
KESIMPULAN
Madyan adalah suatu daerah yang di pantai laut Merah sebelah selatan gurun Sunai diantara Hijaz dan Teluk ‘Aqabah, Madyan itu sendiri pada awalnya adalah nama putra Nabi Ibrahim as yang  kemudian difahmi bahwa kata Madyan suku keturunan Madyan putra Nabi Ibrahim as. Daerah Madyan ini Nabi Syu’aib diutus oleh Allah SWT untuk meluruskan dan kembali kepada jalan Allah swt. yaitu  menyembah pada Allah tiada tuhan selain Dia. Selanjutnya Nabi Syu’aib melarang melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan serta membuat kerusakan di muka bumi. Serta perintah menyempurnakan takaran dan timabangan dan larangan mengambil hak milik orang lain. Dari ini ditarik beberapa hokum yang akan berlaku sampai sekarang, antara lain:
1.      Wajib menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya.
2.      Haram mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa saja. Baik hak tersebut milik perseorangan atau milik orang banyak seperti harta pemerintah dan perusahaan.
3.      Haram berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, seperti mencopetan, mencuri, merampok, korupsi, menteror dan lain-lain.






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, 1993, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, terj. Anshori Umar,Semarang: Toha Putra
Dr. Hamka, 1984, Tafsir Al Azhar, juz VIII, Jakarta: PT Pustaka Panjimas
M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Misbah, vol 6, Jakarta: Lentera hati
Kementrian Agama, 2010, Al-Qur’an & Tafsirnya, jilid IV, Juz 12, Jakarta: Lentera Abadi
Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi, juz 9(Jakarta, Pustaka Azzam: )
Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir jalalain juz 1. Surabaya: t.np.,











Tafsir Surat Al-‘Araf ayat 85 dan Surat Hud ayat 85-86
Tetang Pengurangan Takaran dan Timbangan

Makalah ini di buat guna memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir al-ahkam II
Dosen pengampu :
Disusun oleh
Abdul Aziz
26.09.2.1.007
PROGRAM MUAMALAH
JURUSAN SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011


 


[1]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6 (Jakarta, Lentera hati: 2002 ) hlm. 313
[2]. Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir jalalain juz 1. (Surabaya: t.np.,t.t.,), hlm. 137
[3]. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz VIII ( Jakarta, PT Pustaka Panjimas : 1984), hlm 423
[4] . Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir …, hlm. 137
[5].  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6…, hlm. 312-313
[6]. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz VIII…, hlm 424
[7]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 6…, hlm. 313
[8]. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, terj. Anshori Umar ( Semarang. Toha Putra: 1993) hlm 133
[9]. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz XII…, hlm 105
[10]. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir…, hlm 132
[11]. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi, juz 9(Jakarta, Pustaka Azzam: ), hlm 192
[12]. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi…, hlm 133
[13].  M. Quraish Shihab, Tafsir….. vol 6.., hlm.313
[14].  Kementrian Agama, Al-Qur’an & Tafsirnya, jilid IV, Juz 12,( Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm 457  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar