Rabu, 26 Oktober 2011

tafsir ahkam


Ayat-ayat tentang thaharah dan adzan
  1. Surat Al-Maidah ayat 6
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai ke kedua mata kaki, dan jika kamu dalam keadaan junub, maka mandilah, dan jika kamu dalam keadaan sakit atau sedang dalam bepergian atau salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci), usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”
Zhahir ayat di atas “apabila kamu hendak melaksanakan shalat...” menunjukkan bahwa wudlu itu wajib bagi setiap orang yang hendak melaksanakan shalat, baik dia berhadas maupun tidak. Namun, jumhur ulama’ berpendapat bahwa wudlu wajib bagi yang berhadas. Penafsiran demikian merupakan ijma’. Salah satu dasar yang menguatkan pendapat ini adalah hadis Nabi, bahwa Nabi pernah shalat lima waktu pada peristiwa fathu makkah hanya dengan sekali wudlu. Hadis lain diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa “Allah tidak akan menerima shalat salah seoramg dari kalian, apabila ia telah berhadas, kecuali ia berwudlu”. Jadi dapat disimpulkan bahwa wudlu pada setiap hendak shalat adalah utama, tetapi tidak wajib kecuali bagi yang berhadas.
Kata “Al Ghuslu” dalam “Faghsiluu wujuuhakum wa aidiyakum” mengandung arti mengalirkan air atas sesuatu untuk menghilangkan kotoran atau lainnya yang ada padanya. Kata “Al Wujuh” yang merupakan jamak dari “Al Wajhu” berarti wajah (muka). Adapun batas-batasnya adalah dari puncak permukaan kening sampai ke bagian paling bawah dari dagu, dan melebar adalah dari cuping telinga kiri sampai cuping telinga kanan. Kata “Al Aidi” yang merupakan jamak dari “yad” berarti tangan, sedangkan batas-batasnya ialah dari ujung jari sampai ke siku, yang merupakan pangkal zira’ dan ujung lengan atas (adud).
Kata “Ar-Ra’s” dalam “wamsahu biru’uusikum” bererti kepala. Para fuqaha’ berbeda pendapat mengenai ukuran kepala yang harus diusap. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah berpendapat wajib mengusap semua kepala, karena ikhtiyath. Pendapat mereka didasarkan pemahaman bahwa ba’ dalam “biru’uusikum” bererti ziyadah (tambahan) yang gunanya adalah litta’kid (untuk memperkuat saja), jadi ayat tersebut berarti usaplah kepala-kepalamu. Sedangkan Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’yah berpendapat bahwa ba’ dalam ayat tersebut berarti litta’bidh untuk menunjukkan sebagian, bukan ziyadah. Jadi yang wajib diusap adalah sebagian kepala saja, hanya saja Hanafiyah menentukan sebagaian kepala itu seperempat, sedangkan Syafi’iyah mengemukakan, sebagian itu sedikitnya apa yang disebut mengusap itu sudah dapat diyakinkan, selain yang yakin tidak termasuk wajib, tetapi sunnat saja.
Imam As-Shabuni berpendapat bahwa ba’ diartikan dengan litta’bidh. Jadi yang wajib diusap dalam wudlu itu ialah sebagian kepala, dan sunnat mengusap seluruh kepala. Pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah adalah lebih tepat, tetapi pendapat Malikiyah dan Hanabilah  lebih berhati-hati.
Lafal “Al Ka’bain” berarti dua mata kaki, yaitu dua tulang yang tampak menonjol di kiri dan kanan persendian betis. Demikianlah yang wajib dibasuh, sebagaimana yang dilakukan oleh rasulullah.
Kata “Al-Junub” adalah kata yang dipakai sebagai mufrad, musanna, dan jamak. Juga sebagai muzakkar dan mu’annas. Sedang yang dimaksud ialah hubungan kelamin atau persetubuhan.[1]

  1. Surat Al-Maidah ayat 58
  2. Surat An-Nisa’ ayat 43.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(An-Nisa’:43)
Arti kata-kata sulit:
1.       Ýͬ!$tóø9$#: bagian yang rendah dari tanah seperti lembah.
2.       ãä!$|¡ÏiY9$# Läêó¡yJ»s9 u: bercampur dengan istri.
3.       #YÏè|¹  : permukaan tanah.
4.       $Y7ÍhŠsÛ : yang suci.
Pokok kandungan ayat:
            Kandungan ayat ini adalah pertama, larangan salat bagi orang yang mabuk. Kedua, larangan menghampiri masjid bagi orang yang junub (hadas besar) dan rukhshahnya yaitu, boleh sekedar meleweti atau berjalan di masjid. Ketiga, alasan kebolehan tayammum dengan memakai debu yang suci, yaitu sakit, sedang dalam perjalanan dan idak menemukan air.
Asbabun nuzul:
Pada ayat di atas, dimulai dari ya aiyuhalladina sampai lafad ma taqulun, turun sebab sahabat Ali bin Abi Thalib menjadi imam dan bacaanya salah ketika membca surat al-Kafirun, sebab dia mabuk. Seperti hadits yang dari Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ali ra. Berkata : “Abdurrahman bin Auf membuat makanan untuk kami, lalu mungundang kami dan munuangkan khamer untuk kami. Khamer itu mulai bereaksi pada kami, dan datanglah waktu salat, lalu mereka mengajukan diriku (untuk jadi imam). Maka saya membaca: Katanlah. Hai orang-orang kafir aku tidak menymbah apa yang kalian sembah, sedangkan kami menyembah yang kalian sembah. Maka turunlah ayat ini.”  Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ali bahwa ketika itu yang menjadi imam adalah Abdurrahman, sedangkan salat yang dilakukan adalah salat magrib. [2]
Sedangkan lafal selanjutnya sampai akhir berhubungan dengan bersuci. Diriwatkan bahwa sahabat bepergian bersama nabi SAW., lalu kalung ‘Aisyah hilang. Kemudian Nabi sendiri bersama sahabat mencari, sedangkan waktu itu tidak membawa air. Maka Abu bakar marah pada ‘Aisyah seraya berkata: Engkau merepotkan Rasulullah dan orang-orang lain yang bersamanya, di mana mereka tidak membawa air. Begitulah, lalu diturnkan ayat ini dan mereka salat dengan tayammum.[3]
Tafsiran ayat di atas:
            Abu Su’ud berkata: Diarahkannya larangan ini untuk mendekati salat, padahal yang dimaksud adalah larangan mengerjalan salat itu sendiri, adalah lilmubalaqoh (sebagai larangn yang keras). Jadi larangan ini adalah larangan salat dalam keadaan mabuk, karena ketika mabuk orang akan hilang konsentrasinya, sehinga salatnya tidak khusu’ dan tidak mengerti apa yang dia ucapkan ketika itu. Dan ini juga sebagai tahpan penhharaman khamer.
Adapun wala junuban illa ‘abiri sabilin adalah larangan melewati masjid sekligus larangn salat bagi orang yang junub hingga dia mandi. Tetapi masih terdapat rukhshah dalam hal ini, yaitu sekedar melalui masjid saja. Larangan ini dipertegas dengan hadits Nabi:
“sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang junub dan haid”.
Hikmah dari mandi adalah menghilangkan kelemahan yang disebabkan ketegangan urat saraf. Oleh karena itu dalam hadits disebutkan:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  : فما الماء من الماء
                Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya air (Mandi) adalah dari air (mani yang keluar).” (H.R. Muslim)[4]
Keharusan mandi bagi orang junub jika terdapat kesulitan terdapat rukhshah, yaitu diganti dengan tayammum. Alasan yang membolehkan tayammum adalah, pertama, orang sakit, misalnya penyakit kulit atau luka yang dihawatirkan akan bertambah parah ketika terkena air. Kedua, orang yang bepergian atau orang yang datang dari tempat buang air dan orang bersentuhan dengan wanita atau bercampur dengan istri diperbolehkan tayammum apabila tidak menemukan air. Yang dimaksud dengan dari tempat buang air adalah berhadats kecil yang disebabakan oleh keluarnya sesuatu dari dua jalan, Qubul dan Dubur. Ketidak adaan air menjadi syarat kebolehan bertayammum di dalam safar menurut empat madzhab.
Bolehnya tayammum bagi orang yang sakit ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan ooleh Jabir a.r., ia berkata: “ Kami pernah keluar dalam suatu bepergian, lalu ada seorang laki-laki terkena batu, sehingga batu itu melukaai kepalanya. Kemudian ia bermimpi keluar mani. Lalu ia bertanya kepada kawan-kawnnya: Apakah kalian mendapatkan suatu rukhshah bagiku untuk tayammum?. Mereka menjawab: Kami tidak menjumpai suatu rukhshah untukmu, padahal engkau mendapatkan air. Begitulah lalu ia mandi, dan kemudian meninggal dunia. Setelah kami datang ke tempat Nabi saw., aku ceritakan hal itu kepadanya, maka jawab Nabi: “mereka telah membunuh dia, semoga Allah membunuh mereka juga. Mengapa mereka tidak bertnya, kalau memang tidak tahu? Sebab obat kebodohan itu hanyalah bertanya.”(HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Daraquthni)[5]
Ulama banyak yang berbeda pendapat tetang kalimat ä!$|¡ÏiY9$# Läêó¡yJ»s9 yaitu, pertama pendapat Ibnu Abbas dan Hasan, bahwa yang dimaksud ialah bercampur, inilah madzhab Hanafiyah. Keduan, pendapat Ibnu mas’ud, ibnu Umar, dan Sya’bi, bahwa yang dimaksuad adalah menyentuh dengan tangan, inilah madzhab Syafi’iyah. Ibnu Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa: Allah bermaksud dengan kalimimat di atas ialah bercampur bukan menyentuh. Karena jelas ada riwayat dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah saw. pernah berwudhu’ kemudian mencium istrinya, lalu salat”.   
Ulama ahli fiqh juag berbeda pendapat tentang menyentuh perempuan membatalkan wudhu’ atau tidak?. Ada beberapa pendapat:
1.      Ab Hanifah berpendapat, bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu’, baik dengan syahwat atau tiidak.
2.      Syafi’i berpendapat, bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu’, baik dengan syahwat atau tidak.
3.      Malik berpendapat, bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu’ kalau dengan syahwat, tetapi tidak batal kalau menyentuhnya dengan tanpa syahwat.
Kata  #YÏè|¹   terdapat perbedaan para ahli bahasa. Ada yang berpendapat maksud lafad itu adalah turab (debu). Sedangkan yang lain mengatakan permukaan bumi baik debu atau lainnya. Maka timbullah perbedaan para ahli fiqh tentang sesuatu yang sah dipakai tayammum. Pertama, Abu Haniafah: tayammum itu bleh dengan debu, batu dan apa saja dari jenis bumi. Sekalipun tidak berdebu. Abu Hanifah beralasan pada zhahir ayat, yaitu: bahwa kata “ tayammum” itu berarti al-qashdu (bermaksud); dan sha’id iu berarti semua yang berada di permukaan bumi. Dengan begitu, maka firman Allah: “Fatayammamu sha’idan thayiban” itu berarti : menujulah kamu kesuatu tanah yang suci.
Kedua, Syafi’i berkata tayammum harus memakai debu yang melekat pada tangan. Syafi’i beralasan, sesungguhnya Allah mengharuskan tayammum dengan tanah yang baik, sedangkan tanah yang baik adalah tanah yang subur, bias menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, dengan dasar firman Allah: “Dan tanah yang baik, yang tumbuh-tumbuhannya itu tumbuh dengan izin Tuhannya.”(QS. Al-A'raf: 57).
Munasabah atau hubungan surat An-Nisa’ ayat 43 dengan al-Maidah ayat 6.
1.      Rukhshah untuk bertayammum sebagai ganti dari wudhu’ dan mandi dengan beberapa alasan:
A.    Sakit yang dihawatirkan akan membahayakan, bertambah parah apabila terkena air.
B.     Musafir apabila tidak menemukan air.
2.      Bertayammum dengan memakai debu dengan membasuh muka dan kedua tangan.
Hukum yang terkadung dalam ayat 43 surat an-Nisa’ antara lain:
1.      Haramnya salat bagi orang yang sedang mabuk.
2.      Orang junub dilarang salat, membaca al-Qura’an dan masuk masjid.
3.      Orang sakit dan musafir yang tidak menemukan air yang berhadats besar atau kecil boleh tayammum.
4.      Alat yang digunakan untuk tayammum adalah debu yang suci.
5.      Anggota yang dibasuh ketika tayammum adalah tangan dan muka.





[2] . tarjemah Tafsir Al-maraghi juz 5. Hal 77
[3] . tarjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni.  jilid 1.hal. 421
[4] . tarjemah Tafsir Al-maraghi juz 5. Hal 78
[5] . tarjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni.  jilid 1.hal. 425

Tidak ada komentar:

Posting Komentar