Rabu, 26 Oktober 2011

ushul Fiqh 2


BAB I
PENDAHULUAN
            Al-Quran dan Hadits adalah sumber dari hukum-hukum islam. Dari dua sumber ini hukum didapat. Hukum akan selalu berkembang sesuai dengan tempat, waktunya hukum itu di berlakukan. Karena itu dalam terdapat beberapa dali yang kontradiktif antara ayat-ayat dalam al-Quran atau al-Quran dengan Hadits. Kontradiksi dalil ini tergantunga pada pandangan dan kemampuan mujtahid dalam memahami dan menganalisis dalil yang bersumber dari al-Quran dan Hadits.
            Ketika terdapat kontradiksi masih bisa diatasi dengan metode yang dipaparkan oleh ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah, sehingga dalil itu bisa diaplikasikan dalam hukum yang sesuai dengan baik dan benar.




























BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’arudh Al-Adillah
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil.
Secara Istilah Ta’arudh al- Adillah, ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi  Ta’arudh al- Adillah, di antaranya:
  1. Menurut Imam Asy-Syaukani Ta’arudh al- Adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhaap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menetukan hukum yang berbeda dengan dalil itu.
  2. Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan Ta’arudh al- Adillah secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya.
  3. Amir Syarifudin mendifinisikan Ta’arudh al- Adillah adalah berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.
  4. Kamal Ibnu Al-Taftazani, mendifinisikan Ta’arudh al- Adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikomprimikan antara keduanya.
Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa Ta’arudh al- Adillah adalah merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan. Serta persoalan yang dibahas  oleh ulama ketika ada pertentangan antra dua dalilk atau antara satu dali dengan dalil lainnya secara zhahir pasa derajat yang sama. Maksud dari sama derajatnya adalah antara ayat dangan ayat, hadits dengan hadits, seperti dalil masalah riba. Rasulullah Saw. bersabda:
لا ربا الا في النسيئة   (رواه البخا ري و مسلم )
Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah 9riba yang muncul dari utang piutang).
لا تبيع البر بالبر الا مثلا بمثل ( رواه البخا ري و مسلم واحمد بن حمبل )
Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumalh yang sama.
Pada hadits pertama tidak ada bentuk riba selain riba nasi’ah, sehingga membolehkan  riba fadl sedangkan hadits kedua mengharamkan riba fadl.[1]
B. Bentuk-Bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain:
  1. Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
  2. Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,[2] (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” [3](QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama.[4]
Juga ada pertentangan antara nash Al-Quran dari segi lahiriyah, yaitu antara dalil ‘am dan dalil khas. Menurut Abu Hanifah, dalil yang satu harus ditakhsis dengan dalil yang lain. Kedua nash diterapkan secara bersama-sama, seperti firman Allah Swt.  :     
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4
“ dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik [5](berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. “(An-Nur:4)
Ayat di atas adalah dalil yang ‘am yang menetapkan hukuman dera terhadap orang yang menuduh perempuan muhshan (bersuami) berbuat zina, baik perempuan itu istrinya sendiri atau perempuan lain. Ini ditakhsis dengan selain perempuan yang menjadi istrinya, karena firman Allah Swt. :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$#  
“dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.”
3.      Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Cara penyelesaian ta’arudh Al-adillah yang dikenal masyhur di kalangan ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.[6] Cara peyelesaian tersebut antara lain:
a.       Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq).
Al-Jam’u wa al-Taufiq adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi, seperti ayat dibawah ini :
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$#
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,“ (QS. Al-Maidah: 3)
Ayat diatas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ayat lain dalam al-An’am ayat 145 :
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi,”
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.
b.      Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan indikasinya yang mendukung ketetapan. Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.  Seperti dua hadits dibawah ini:
  عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  : فما الماء من الماء
            Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya air (Mandi) adalah dari air (mani yang keluar).”
   عن عائسة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  : اذاجلس بين سعبها الاربع جهدهم فقد اوجد الغسل
            Dari ‘Aisyah RA, berkata: Rasulullah bersabda: ”Bila seseorang telah berada di atas tulang empat keras dan berbuat atasnya, maka wajib mandi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang pertama wajib mandi mandi apabila dalam persetubuhan mengeluarkan mani, tetap hadits yang kedua wajib mandi meskipun tidak mengeluarkan mani.

c.       Nasakh
Nasakh adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan diadsarkan pada dalil Yng datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi. Seperti  Hadits dibawah ini:
عن بريدة : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد اذن لمحمد فى زيارة قبر امه فزوروها فانها تذكر الاخرة. راوه مسلم و ابوداود والترمذي
dari buraidah; Rasulullah SAW telah bersabda: “ Dahulu aku telah melarang kamu berziarah kubur, sekarang muhammad telah mendapatkan izin untuk berziarah ke kbur ibunya, maka ziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan akhirat”. (HR Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas.
td.  Tasaqut al-Dalilan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan tiga cara di atas, maka ditempuh dengan cara keempat, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut, yaitu: Tasaqut al-Dalilan. Tasaqut al-Dalilan adalah meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah. Misalnya pertentangan antara dua ayat al-Quran yang tidak bisa diselesaikan dengan ketiga metode diatas maka mengambil dalil yang lebih rendah yaitu sunah.[7]



BAB III
KESIMPULAN
            Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil. Ta’arudh al- Adillah adalah merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan. Serta persoalan yang dibahas  oleh ulama ketika ada pertentangan antra dua dalilk atau antara satu dali dengan dalil lainnya secara zhahir pasa derajat yang sama. Pertentangan dua dalil tersebut tergantung pada pandangan dan kemampuan mujtahid dalam memahami, menganalisis, serta sejauh mana kekuatan logika mereka.
            Dalam Ta’arudh al- Adillah terdapat dua dalil, yaitu dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni. Cara penyelesaian ta’arudh Al-adillah yang dikenal masyhur di kalangan ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah, yaitu Al-Jam’u wa al-Taufiq, tarjih, nasakh, dan Tasaqut al-Dalilan.








DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Khalaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1,1997,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu















TA’ARUDH Al-ADILLAH


Logo STAIN
 







Makalah ini disusun guna
Memenuhi salah satu Tugas mata kuliah : Ushul Fiqh II
Dosen pengampu :
M. Usman, S.Ag., M.Ag
Disusun oleh :
Abdul Aziz (26.09.2.1.007)
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2010


[1].Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih.(Bandung : Pustaka Setia. 2007), hal. 226.
[2] . Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris
[3] . Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[5] . Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
[6] . Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah secara garis besar terbagai menjadi 2 metode yang digunakan oleh mujtahid yaitu Metode Hanafiyah dan Metode Syafi’iyah. Hanafiyah Membagi Usaha-usaha Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah menjadi 4 tahap yaitu Naskh, Tarjih, Jam’u wa Taufiq, dan Tasaqut al-Dalalain. sedangkan Metode Syafi’iyah digunakan oleh ulama Syafi’iyah, yang juga digunakan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah dan zahariyah. Terbagi menjadi 4 tahap yaitu: Al-Jam’u wa Taufiq, Tarjih, Naskh, dan Tasaqut al-Dalalain.
[7] . Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih……, hal. 228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar